Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Nomor Cantik 008008

Dua Juli 2008, udara pagi Kota Mataram menyapa dingin, namun pelipisku sudah basah karena keringat. Entah karena gugup, atau karena pikiranku yang tak karuan memikirkan satu hal, “Apakah Tes Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) hari ini akan berjalan lancar?

Aku memilih tes melalui jalur IPS, dengan pilihan pertama Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Mengapa tidak memilih jalur IPA atau IPC? Alasannya sederhana, aku ingin menghindari soal-soal IPA karena selama di SMA jurusannya Bahasa, dan itu sudah cukup membuatku alergi pada rumus-rumus matematika dan sains.

Aku berangkat dari kontrakan sepupuku dengan langkah terburu-buru. Namun, begitu tiba di gerbang kampus tempat tes, sebuah suara menghentikanku.


“Dek, kamu nggak bisa masuk...

Pakaianmu kaos oblong.”

“Aturan ujian,

pakaiannya harus kemeja berkerah.”

Aku tertegun sejenak, dan nafasku tertahan. Petugas itu berdiri tegap, menatap apakaianku sambil menunjuknya. Deg! Rasanya seperti baru saja dijatuhi vonis mati. Waktu ujian tinggal beberapa menit lagi. Petugas itu tetap berdiri tegas, wajahnya datar seperti palu hakim.

Tanpa banyak pikir, aku berbalik dan berlari menuju parkiran. Mesin motor meraung di jalanan kampus, angin pagi menampar wajahku, tapi lebih keras suara di kepalaku:

Kalau terlambat, selesai sudah…

Untung jarak kontrakan tak jauh dari kampus. Sesampainya, aku membuka lemari dengan tergesa. Pandanganku  tertuju pada kemeja distro putih yang baru kubeli semalam di Mataram Mall. Siapa sangka, pagi ini dia menjadi penyelamat.

Aku kembali ke kampus secepatnya. Keringat bercampur debu di wajahku, napas tersengal. Petugas tadi menatapku, lalu tersenyum tipis.

“Cepat masuk. Saya ingat kamu yang tadi.”

Aku mengangguk, mengucap terima kasih. Lalu bergegas ke ruang ujian.

Di dalam, suasana tegang. Lembaran soal sudah menanti di atas meja. Satu paket berisi soal logika, matematika, IPS, PKn, bahasa Indonesia, bahasa Inggris, hingga psikotes. Bagian matematika membuat kepalaku menunduk lebih lama. Meski bukan favoritku, empat bulan les persiapan UN rupanya tak sia-sia. Beberapa soal terasa familiar, seolah bertemu teman lama.

Sistem penskoran SNMPTN 2008 cukup kejam: minus satu untuk jawaban salah, plus dua untuk jawaban benar. Aku memilih strategi aman, jawab yang pasti, kosongkan yang ragu.

Saat bel berbunyi, aku keluar dengan kepala berat. Aku mencoba realistis. Tidak pesimis, tapi juga tak mau berharap terlalu tinggi. Aku pun tak punya kampus Cadangan seandainya tidak lulus tes. Tapi, yang kupunya hanya doa Ibu dan sisa keyakinan.

***

Satu Agustus 2008, langit masih abu-abu saat aku tiba di Jalan Majapahit, tepat di depan PERPUSDA NTB. Warung koran baru buka. Aku membeli Lombok Post, dan tanganku gemetar saat membuka halaman pengumuman SNMPTN. Mataku langsung menyapu daftar nama dari tengah ke bawah.

Kosong. Tidak ada namaku.

“Gagal…?” gumamku.

Entah dorongan apa, aku kembali melihat dari awal daftar. Baris pertama… kedua… lalu baris ketiga. Mataku membelalak:

Nafasku tercekat, tanganku semakin bergetar. Angka itu berkilau di mataku, seolah memanggil dari lembar koran. Bukan sekadar nomor tes, tapi tanda… semacam kode yang seakan diselipkan oleh takdir. Aku teringat, 008 pertama adalah nomor urut saat mendaftar, dan 008 kedua adalah tahun tes. Dua angka kembar itu terasa seperti bisikan semesta, bahwa hari ini adalah milikku.

***

Andai petugas itu tak mengingat wajahku…
Andai aku menyerah di jalan…
Andai kemeja putih itu tak kubeli semalam…
Andai Allah tak menolongku dengan cara-Nya…

Mungkin aku tak akan pernah mencicipi dunia kampus yang selama ini kudambakan.

Sejak hari itu, aku percaya satu hal: masa depan kadang diputuskan oleh detik-detik yang nyaris kita sia-siakan.

 

Posting Komentar untuk "Nomor Cantik 008008"